Belajar dari Masalah Kesehatan pada Anak

Merawat anak yang memasuki tahap makan Makanan Pendamping ASI (MPASI) berbeda dengan anak yang sedang ASI eksklusif. Tentunya kerepotan menyiapkan menu dan masakan lumat untuk anak menjadi kesibukan baru, ditambah dengan tantangan menyuapi anak yang kadang mau buka mulut lebar, kadang tutup mulut. Dengan menu yang sama, reaksi anak ternyata bisa berbeda. Saya menggunakan pedoman WHO dalam memberikan MPASI anak, yaitu menu 4 bintang (karbohidrat, protein, lemak serta vitamin dan mineral). Selama MPASI, meski saya bekerja dan kuliah, anak saya tidak minum susu formula. Biasanya, saya menyediakan air putih dan perasan jeruk baby sebagai tambahan minumnya.

Kondisi mulai berubah saat anak saya memasuki usia 9 bulan. Awalnya saya merasa produksi ASI menurun karena hasil memompa ASI tak sebanyak biasanya. Tak lama, saya tahu penyebabnya adalah kesundulan. Kesundulan ini adalah istilah bahasa jawa yang maksudnya hamil anak kedua dan seterusnya, dalam jarak dekat (biasanya kurang dari 2 tahun) dari kelahiran anak pertama atau anak sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, ASI mulai susah dipompa. Anak saya saat it masih menyusu secara langsung dengan frekuensi yang tidak banyak berubah dari sebelumnya, jadi saya tidak khawatir. Banyak yang menyarankan untuk menyapih, tapi saya yakin selama kehamilan saya tidak terganggu maka mengASIhi anak pertama masih aman untuk dilakukan. Akhirnya, pada usia kehamilan 4 bulan (atau usia anak saya 12 bulan) ASI tidak lagi keluar.

Memang pada umumnya, kadar hormon yang merangsang produksi ASI (prolaktin) serta hormon yang merangsang pembukaan saluran ASI (oksitosin) dan hormon yang bekerja selama kehamilan (estrogen dan progesteron) berbeda. Hormon-hormon tersebut meningkat secara bertahap selama kehamilan untuk memperkuat rahim dan mempersiapkan produksi ASI. Kadar hormon progesteron dan estrogen, yang membantu juga dalam proses persiapan produksi ASI, otomatis turun setelah proses persalinan, sedangkan hormon prolaktin dan oksitosin tetap tinggi setelah persalinan yang memacu produksi ASI. Apabila hormon estrogen dan progesteron meningkat karena kehamilan, maka kadar hormon prolaktin akan menurun yang menyebabkan turunnya produksi ASI. Kerja hormon prolaktin, yang juga memacu hormon oksitosin, kurang baik untuk kehamilan karena oksitosin merangsang rahim berkontraksi sehingga meningkatkan risiko keguguran pada janin.

Kala itu, saya sempat merasa sedih dan memikirkan alternatif pemberian minuman bergizi untuk anak pertama saya. Akhirnya, dengan beberapa pertimbangan terutama masalah asupan kalsium anak yang juga saat itu disarankan oleh dokter kandungan, saya memilih memberikan susu formula. Selang 2 hari, ternyata anak saya diare. Saya sempat mencoba beberapa merk susu formula setelah anak sembuh dari diarenya. Minum susu formula selama sehari dua hari anak masih baik-baik saja, dan biasanya hari ke-3 anak mulai diare lagi. Saya juga membelikan susu kedelai yang banyak direkomendasikan karena bebas laktosa, anak tidak mau minum.

Diare karena susu sempat beberapa kali terjadi karena ketidak-konsistenan saya dalam asupan susu formula, sampai saat anak berusia 1 tahun pun saya mencoba mengenalkan susu yang diolah dengan Ultra High Temperature (UHT) tanpa rasa, alhasil anak tetap diare. Diare pada anak saya sempat terjadi juga karena sebab lain. Pernah suatu kali, saya mencampur mashed potatoes bersama telur dan keju kemudian di tim, keesokan harinya anak mengalami diare. Lain waktu, sang nenek yang prihatin karena saya hamil lagi, mulai memberikan telur ayam kampung setengah matang yang menurut orang jaman dahulu baik untuk gizi anak. Selang beberapa hari anak saya kembali diare. Saya yang juga mencoba-coba memberikan variasi menu MPASI, pernah memberikan tofu telur sebagai tambahan menu dan anak kembali diare. Sebab lain yang sebenarnya agak diduga, namun setelah yakin bahwa konsumsi aman untuk anak di bawah 1 tahun yaitu air kelapa muda. Setelah meminum sedikit air kelapa muda, malamnya anak langsung muntah dan diare.

Masalah kesehatan lain yang cukup serius kembali terjadi. Saya mengamati, sejak kehamilan anak kedua dan karena saya salah memahami artikel yang menganjurkan pembatasan konsumsi air putih pada bayi, anak saya mulai jarang ngompol. Pospak yang biasanya penuh dalam 6 jam, masih ringan dengan bekas air kencing yang lebih kuning. Suatu saat, saya akhirnya memeriksakan anak ke dokter karena ketika saya ganti pospak terdapat bercak darah. Dokter mendiagnosa anak saya menderita infeksi saluran kemih (ISK) dan harus mengkonsumsi antibiotik. Dokter meresepkan antibiotik branded dan saya yang biasanya minta diganti generik memutuskan tidak perlu diganti generik supaya anak mendapat obat terbaik karena mindset mahal berarti bagus.

Sekali mengkonsumsi antibiotik bermerk dengan tambahan pemanis yang sangat manis setelah saya cicipi, anak saya kembali diare. Kembali saya menemui dokter untuk memastikan sebab diare. Kultur tinja dan air kencing sekalian saya bawa untuk diperiksa di laboratorium. Hasilnya, kandungan lemak cukup tinggi di tinja dan tingkat keton tinggi di air kencing. Saya mendiskusikan hal ini kepada dokter. Dokter mulai menganalisis satu persatu kemungkinan diare, dari penggunaan antibiotik, susu formula, telur yang tidak matang (rentan mengandung pseudomonas, jenis bakteri yang bisa menyebabkan diare pada anak), alat makan minum yang kurang bersih, dan sebagainya. Saya menambahkan ke dokter, tidak sreg dengan merk antibiotik yang diresepkan karena rasanya sangat manis. Akhirnya, dokter meresepkan antibiotik generik dari golongan obat yang sama dan setelah diminum diare anak saya tidak separah sebelumnya.

Permasalahan diare dan ISK yang beruntun terjadi pada usia anak 9-12 bulan, membuat saya banyak meluangkan diri untuk merawat anak dan belajar, mengesampingkan urusan tesis yang memang sedang bermasalah dalam olah datanya. Saya mengambil pelajaran bahwa ini adalah bagian dari adaptasi anak untuk menyambut adiknya dan juga bagian dari proses ujian kelayakan dan kesiapan saya menyambut hadirnya anak kedua. Untuk masalah kesehatan anak, setelah membaca dan konsultasi dengan teman yang berprofesi dokter, saya memutuskan untuk menghentikan pemberian susu formula, karena kandungan gizi dari susu bisa diperoleh dari sumber asupan lain. Saya juga mengingat kembali guide line WHO mengenai menu 4 bintang yang tidak secara khusus menganjurkan pemberian susu formula. Saya mengganti kebutuhan tersebut dengan menyediakan minuman sehat lain seperti perasan jeruk baby, jus apel, pir, tomat, wortel, sari kacang hijau serta memperbanyak makanan tinggi kalsium seperti brokoli, tahu dan kacang-kacangan. Saya semakin mantap menghentikan coba-coba susu formula karena anak saya tergolong gampang makan sayur, ikan-ikan laut dan buah.

Masalah diare pada anak saya juga membuka wawasan baru terkait ilmu gizi yang jauh berubah dari ajaran SD dulu yaitu konsep 4 sehat 5 sempurna (ditambah susu) diganti menjadi proporsi makan yang tepat antara karbohidrat, lemak, protein dan vitamin-mineral. Sejak Maret 2016 telah dilakukan kampanye anjuran diet sehat "Eatwell Guide" oleh Kementrian Kesehatan Inggris yang yang bekerja sama dengan Pemerintah Wales, Badan Standar Pangan Skotlandia dan Badan Standar Pangan Irlandia Utara, menggantikan anjuran diet sehat "Eatwell Plate". Anjuran diet "Eatwell Guide" berfokus pada proporsi setiap kelompok makanan yang harus dimakan secara keseluruhan, dengan jumlah buah, sayur serta karbohidrat berserat yang lebih banyak dan jumlah susu dan lemak yang direkomendasikan menjadi lebih sedikit. Makanan tinggi lemak, garam dan gula seperti keripik, biskuit dan saus, menurut anjuran diet tersebut, tidak dibutuhkan dalam diet sehat dan harus dilihat sebagai 'musuh'.

Sebagai Apoteker, saya juga tertantang untuk mengetahui sebab pasti diare anak dan cara mengatasi diare tersebut dengan tepat. Permasalahan diare akibat susu formula memang lumrah terjadi karena intoleransi laktosa akibat produksi enzim laktase yang mencerna laktosa lebih sedikit dibandingkan populasi umum. Jalan keluarnya dengan memberikan susu bebas laktosa seperti susu kedelai ataupun susu rendah laktosa. Di pasaran sudah banyak merk susu rendah laktosa, namun harganya yang relatif mahal membuat 'barrier' bagi saya untuk membelinya, toh bukan kebutuhan pokok yang harus anak saya konsumsi. Selain itu, mungkin perubahan pola konsumsi yang mendadak kaya lemak memicu timbulnya diare karena tubuh memang menbutuhkan lebih banyak waktu untuk mencerna lemak. Telur, susu, keju, tofu mengandung telur merupakan makanan dengan kandungan lemak yang relatif tinggi.

Untuk obat sendiri, saya memilih probiotik yang akan membantu menormalkan jumlah bakteri komensal (bakteri baik) di dalam usus selain dengan menghentikan konsumsi susu. Beberapa bakteri dalam probiotik diyakini mampu memproduksi laktase sehingga mampu membantu mencerna laktosa, meski masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan efektivitasnya. Saat diare terjadi bersamaan dengan ISK, karena anak mengkonsumsi antibiotik yang otomatis menyebabkan probiotik kruang berfungsi, dokter meresepkan zink sebagai suplemen tambahan untuk mencegah keparahan diare dan memacu metabolisme di dalam tubuh. Zink tidak bisa disimpan dalam tubuh, untuk itu sewaktu diare, zink perlu ditambahkan mengingat peran pentingnya dalam mencegah keparahan diare dan metabolisme tubuh.

Dari permasalah kesehatan anak ini, saya belajar untuk lebih bijak dalam memilihkan diet yang tepat untuk anak dan tidak memaksakan anak mengkonsumsi sesuatu hanya karena tidak tahan desakan sana-sini. Kesehatan anak lebih mahal daripada sekedar coba-coba. Saya juga ditantang untuk lebih yakin pada pola pengasuhan dan diet pada MPASI anak yang sudah saya pilih. Ketika keluar dari fase ini saya merasa bersyukur dan lebih bahagia bersama anak yang juga bertambah berat timbangannya karena sudah terhindar dari diare.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memanfaatkan Pangan sebagai Obat

Kue Obi Isi Coklat

Capek