Menanti Pagi (Cerpen)

Suasana pagi mulai riuh dengan suara jangkrik dan kokok ayam yang sangat nyaring. Udara dingin pegunungan merasuk sampai ke tulang. Aku sengaja mematikan penghangat ruangan, menikmati dingin yang tidak dijumpai di hiruk pikuk ibu kota. Pukul 03.30, aku mematut diri di depan cermin, mengenakan jaket tebal dan syal warna jingga kesukaanku. Lima menit kemudian, aku sudah berjalan di suhu 15○C menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya berjajar bunga Rosella. Sosok laki-laki berperawakan tinggi atletis yang sejak tadi menggandeng tanganku meperlahan langkahnya seiring suara nafasku yang semakin cepat.

"Pelan-pelan saja jalannya Ma, matahari terbit tepat waktu", katanya sambil melihat jam digital seukuran koin lima ratusan yang menempel di tangannya. Masih jam 04.00, 35 menit sebelum matahari tebit.

Pagi itu, kami memutuskan menikmati keindahan alam pegunungan yang sejak 3 hari belakangan ini kami singgahi. Suamiku yang merencanakan semua ini. Dia yang tidak betah duduk di ruangan 4x5 meter memilih berkeliling dan menemukan tempat yang menurutnya indah untuk memandang matahari terbit. Aku menyetujuinya, meski jam 07.00 pagi setelahnya aku harus menjalani serangkaian prosedur medis.
Empat puluh lima menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai tujuan karena kami banyak berhenti menormalkan nafasku. Kami pun sampai di tepian sungai yang mengalir deras karena curamnya lereng pegunungan. Kami berdua duduk dalam diam, sampai akhirnya suamiku membuka percakapan.

"Ilmuwan sungguh luar biasa Ma, mereka berhasil mengembangkan teknologi sejauh ini. Tahun 1940an ilmuwan mempelajari DNA manusia dan menemukan ada 23 pasang kromosom yang menyusun tubuh manusia. Ilmu genetika kemudian berusaha memecahkan kode genetika, mempelajari ekspresi gen sampai manusia bisa mengintervensi ekspresi gen pada tahun 70-an. Ilmuwan semakin ambisius, mereka mengumpulkan 1000 DNA manusia dari berbagai etnis, mengumpulkannya menjadi database besar peta DNA yang baru selesai tahun 2006. Proyek besar pemetaan gen manusia berlanjut sampai tahap pemetaan genom. Peta DNA selesai dan menunjukkan DNA manusia itu identik 99%. Variasi genetik yang hanya 1% inilah yang membuat manusia memiliki ciri khas yang berbeda".

Tidak kuduga suamiku akan memperbincangkan masalah ini lagi. Dia yang merupakan seorang insinyur teknik sipil entah kenapa bisa menjelaskan terkait perkembangan gen dengan lancar. Tapi memang tak ada yang tidak mungkin sekarang. Teknologi begitu mudah diakses. Jurnal-jurnal yang 4 tahun lalu masih harus diunduh berbayar, kini bisa diakses secara bebas seperti artikel berita. Tuntutan masyarakat akan pengetahuan yang lebih mendalam mendorong fenomena keterbukaan ilmu pengetahuan ini.

"Ilmu berkembang lebih jauh lagi, memanfaatkan gen sebagai terapi. Berawal dari penemuan stem cell, sel pucuk yang mampu dikembangkan untuk regenerasi sel maupun organ tubuh yang mulai usang. Dan 5 tahun lalu, tahun 2017,  ilmuwan berhasil melakukan koreksi gen pada embrio untuk mengatasi penyakit Hypertropic Cardiomyopathy akibat mutasi genetik sel sperma. Saat ini kita beruntung, teknologi yang penuh perdebatan etik ini sudah mulai bisa diterima di Indonesia. Peningkaan ekstrim kasus kecacatan genetik baru-baru ini membuat pandangan orang cepat berubah".

Aku semakin diam memperhatikan. Hendak kemana kuliah genetika suamiku akan berlabuh. Sedikit-sedikit aku juga membaca tentang ilmu ini. Dan sepengetahuanku, sedari dulu pengembangan ilmu genetika tidak pernah lepas dari perdebatan etik. Kloning, persilangan genetik, bayi tabung, dan lain sebagainya. Tetapi situasi dunia berubah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi genetika tepat melesat saat dunia ini mengalami darurat mutasi gen yang mengancam bayi-bayi calon penerus peradaban. Makanan, paparan radiasi gelombang elektromagnetik, polusi udara merupakan beberapa agen mutagenik yang bertanggung jawab akan fenomena ini. Karena itu, terapi gen menjadi salah satu pilihan yang bisa dilakukan manusia. Meski masih ada beberapa dampak buruk yang diperkirakan akan terjadi kemudian; DNA hasil rekayasa genetika selama ini terbukti tidak lebih unggul bertahan menghadapi paparan agen mutagenik. Tapi, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang.

"Semakin tua, kemungkinan Papa menurunkan risiko penyakit genetik bertambah 1,51% setiap tahun ketika usia bertambah, 4 kali lipat dibandingkan Mama yang hanya 0,37%. Kita baru berhasil memiliki calon bayi ini setelah 9 tahun menikah, di usiaku yang ke 35..."
Aku seketika terisak, menanti selama 9 tahun bukanlah hal mudah. Kami sudah mengupayakan berbagai cara, dari minum vitamin, herbal, terapi hormon, sampai terapi genetik 2 tahun lalu tidak membuahkan hasil. Ledakan informasi 3 tahun belakangan mengantarkan kami pada sebuah informasi bahwa hambatan kami memiliki anak bisa diatasi dengan terapi gen, meski akhirnya tidak berhasil. Kala itu, kami pasrah dan menjalani hidup lebih ikhlas, menikmati setiap kebersamaan kami. Dan tak disangka, keajaiban itu datang sekarang...

"Lima persen di tahun 2015, sekarang tahun 2022, angka kemungkinan terjadinya kelahiran dengan kelainan genetik sudah meningkat. Unfortunately, kita 1 diantara 5% itu dan lebih jauh lagi, calon bayi kita menderita sindroma Patau, 1 diantara 16.000 kelahiran".
Akhirnya suara lelaki yang terbilang keras di sampingku bergetar menahan tangis. Calon anak kami didiagnosa menderita sindroma Patau pada minggu ke 12 kehamilan. Tes genetik dengan amniocentesis sudah biasa dilakukan seiring maraknya bayi yang lahir cacat akibat mutasi gen. Penyakit yang dibawanya merupakan kelainan genetik dimana kromosom ke 13 memiliki salinan ekstra, yang seharusnya 2 menjadi 3 (trisomi). Calon bayi kami akan mengalami perlambatan pada tumbuh kembangnya, bahkan dimulai sejak dalam kandungan. Intervensi medis perlu segera dilakukan untuk mencegah segala kemungkinan cacat bawaan.
"Papa masih belum ingin menyerah sekarang. Rasa bahagia Papa baru membuncah 1,5 bulan lalu, 1 minggu ini cepat sekali berganti menjadi kesedihan. Lagi dan lagi. Papa ingin bahagia Ma, Papa ingin menjumpainya 6 bulan lagi. Papa ingin dia lahir seperti 15.999 anak lainnya..."

Suara tangis kami pecah bertepatan dengan warna oranye yang mulai semburat di langit seberang. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena aku menginginkan hal yang sama, persis dengan keinginan suamiku. Selama tiga hari tinggal di puncak Bogor, di RS Pusat Terapi Gen yang dikembangkan pemerintah Indonesia ini, kami sudah banyak mendapatkan brifing. Ilmuwan yang diimpor langsung dari Korea akan tiba pukul 06.30 nanti, selanjutnya aku akan menjalani serangkaian prosedur medis "koreksi genetik" janin dalam kandunganku.

Pukul 05.00 kami bergerak kembali menuju bangsal perawatan. Dua puluh lima menit momen istimewa bersama suami dan calon bayi kami, menikmati mentari pagi, menatap keagungan yang Maha Kuasa, menyisipkan doa dan menanamkan harapan, kelak semoga buah hati kami lahir sehat, seperti 15.999 bayi lainnya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memanfaatkan Pangan sebagai Obat

Kue Obi Isi Coklat

Capek