Menanti Pagi (Cerpen)
Suasana pagi mulai riuh dengan suara jangkrik dan kokok ayam yang sangat nyaring. Udara dingin pegunungan merasuk sampai ke tulang. Aku sengaja mematikan penghangat ruangan, menikmati dingin yang tidak dijumpai di hiruk pikuk ibu kota. Pukul 03.30, aku mematut diri di depan cermin, mengenakan jaket tebal dan syal warna jingga kesukaanku. Lima menit kemudian, aku sudah berjalan di suhu 15○C menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya berjajar bunga Rosella. Sosok laki-laki berperawakan tinggi atletis yang sejak tadi menggandeng tanganku meperlahan langkahnya seiring suara nafasku yang semakin cepat. "Pelan-pelan saja jalannya Ma, matahari terbit tepat waktu", katanya sambil melihat jam digital seukuran koin lima ratusan yang menempel di tangannya. Masih jam 04.00, 35 menit sebelum matahari tebit. Pagi itu, kami memutuskan menikmati keindahan alam pegunungan yang sejak 3 hari belakangan ini kami singgahi. Suamiku yang merencanakan semua ini. Dia yang tidak betah duduk di rua...